PENJABARAN BERDIRI DALAM SHALAT (DALAM MADZHAB SYAFI’IYAH)

·   Apabila dalam shalat fardu tidak mampu berdiri dengan tegak, maka tetap diwajibkan berdiri walaupun dengan membungkuk.
·    Apabila sama sekali tidak bisa berdiri, maka diperbolehkan shalat dengan duduk, mengambil dari hadist (di atas ) yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Imran bin Hashin. Dan mengerjakan ruku’ dengan sekira batas dahi di depan kedua lutut, akan tetapi yang paling sempurna dahi sesuai (mendekati) tempat sujud. Dan ukuran dalam ruku’ dan sujud sekira sesuai ruku’ orang berdiri dilihat dari pandangan mata, akan tetapi perbedaannya adalah dalam sujud hingga meletakan dahi ke tempat sujud, dan dalam ruku’ yang sekira dahi di atas sujud.
·       Apabila shalat dengan duduk, maka yang terbaik dengan duduk Iftirasy (Seperti duduk  tasyahud awal), sebab duduk Iftirasy lebik dari duduk Tarabu’ (Bersila). Dan dalam shalat dimakruhkan duduk Iq’a’ (duduk menyerupai jongkok).

·   Apabila shalat dengan duduk tidak mampu, maka wajib mengerjakan shalat dengan tidur miring dengan menghadapkan wajah dan bagian depan  kearah kiblat, yang terbaik memiringkan badan ke sisi sebelah kanan, apabila ke sisi sebelah kiri, maka hukumnya sah akan tetapi apabila tidak ada udzur, maka hukumnya makruh.
·      Apabila shalat dengan tidur miring, maka sewaktu ruku’ dan sujud diharuskan duduk, dan mengerjakan ruku’ dan sujudnya tidak cukup sekedar isyarah, baik dengan mata atau kepala.
·   Apabila tidak mampu shalat dengan tidur miring, maka wajib mengerjakan shalat dengan tidur terlentang dengan diwajibkan mengangat/menyandarkan kepala kepada sesuatu agar dapat menghadapkan kepala dan badan kearah kiblat. Dan pada saat mengerjakan ruku’ dan sujud, dilakukan dengan menggerakkan kepalanya (menunduk) dan menjadikan sujud lebih menunduk.
·      Apabila tidak mempu mengerjakan shalat dengan dengan terlentang, maka dapat dikerjakan dengan isyarat kelopak mata. Apabila tidak mampu mengerjakan shalat dengan kelopak matanya maka mengerjakan shalat dalam hati dengan wajib dalam sesuatu yang wajib dan mengerjakan sunnah daam pekerjaan sunnah.
·  Apabila lisan tidak mampu mengucapkan, maka bacaan dan lainnya dapat dikerjakan dalam hati.
·   Dan shalat  sama sekali gugur selagi masih mempunyai akal. Dengan sebab tersebut, maka apabila seseorang mengaku tidak wajib shalat sedang dia masih mempunyai akal, maka hukumnya kufur.
·    Apabila mampu berdiri sendiri, duduk atau tidak miring dipertengahan shalat, maa wajib dikerjakan.

Menurut Madzhab Syafi’iyah, wajibnya berdiri dalam shala adalah khusu untuk shalat fardu, walaupun fardu dari sebab nadzar (Shalat sunnah yang dinadzarkan) atau wujud shalat fardu (Walaupun hakikatnya bukan fardu), seperti shalat I’adah dan shalatnya anak-anak.

Adapun dalam shalat sunnah, boleh dikerjakan dengan berdiri, duduk atau tidur miring. Apabila tidak ada udzur dan mampu berdiri, akan tetapi mengerjakan shalat dengan duduk, maka shalatnya sah akan tetapi pahalanya setengah dari pahala shalat berdiri. Apabila mampu berdiri atau duduk, akan tetapi mengerjakan shalat sunnah dengan tidur miring, shalatnya adalah sah, akan tetapi pahalanya setengah dari shalat berdiri atau duduk, seperit terdapat dalam hadist, Rasulullah berkata, “Siapa yang mengerjakan shalat (Sunnah) dengan duduk, maka dia akan mendapat setengah dari pahala shalat berdiri, dan siapa yang mengerjakan shalat (Sunnah) dengan tidur miring, maka dia akan mendapat pahala shalat dengan duduk”. Apabila mengerjakan shalat sunnah dengan duduk atau tidur miring dari sebab udzur, maka pahala shalat berdiri. Apabila seseorang mampu berdiri, duduk atau tidur miring, maka tidak diperbolehkan mengerjakan shalat sunnah dengan tidur terlentang, apabila mengerjakannya, maka shalatnya tidak sah.

Diterangkan dalam kitab Bajuri, yang dimaksud orang yang tidak bisa berdiri dengan sebab udzur, yaitu : adanya suatu kemasyaqatan yang dapat menghilangkan khusyu’ atau sempurnanya khusyu’. Apabila seseorang yang sedang sakit mampu berdiri mengerjakan shalat (Sendiri/munfarid) dengan tanpa masyaqat, akan tetapi tidak bisa berdiri sebagian atau keseluruhan apabila dikerjakan dengan berjama’ah, maka lebih baik/afdol mengerjakan shalat sendiri. Apabila dikerjakan dengan berjama’ah dan dalam pertengahan shalat dikerjakan dengan duduk, maka shalatnya tetap sah.

Diterangkan dalam kitab Al-Faqhul Islam, apabila orang sakit mengerjakan shalat dengan kadar kemampuannya, walaupun dengan  dengan cara isyarat, maka shalatnya sah dan tidak wajib I’adah. Adapun bagi orang yang tenggelam atau terpenjara mengerjakan shalat dengan isyarat, maka shalatnya sah, akan tetapi wajib I’adah.

Diterangkan dalam kitab Bajuri, apabila seseorang berada dalam kapal laut hendak mengerjakan shalat dengan berdiri akan tetapi takut terjatuh/tenggelam, maka diperbolehkan shalat dengan duduk dan tidak wajib I’adah. Apabila seseorang berpenyakit bawasir yang jika mengerjakan yang jika mengerjakan dengan duduk keluar darah, maka dianjurkan shalat dengan duduk dan tidak wajib I’adah.

Apabila tentara perang atau seseorang atau seseorang pengintai perang yang mengintai musuh, jika melakukan shalat berdiri takut akan ketahuan musuh, maka diperbolehkan shalat dengan duduk tapi wajib I’adah. Sebab dari wajib I’adahnya adalah karena kejadian tersebut jarang terjadi.

Sumber referensi artikel : Faidlur-rahman (Shifatu Shalatin Nabi SAW) 4 Hal. 77 – 80

Artikel ini dibuat untuk menambah referensi tentang pengetahuan khususnya di bidang Agama, bukan untuk menjadikannya sebagi perdebadan yang saling menyalahkan dan menganggap dirinya paling benar. Mohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penulisan dan penamaan.
Dapatkan Artikel Gratis
*Untuk berlangganan Artikel gratis via E-Mail di blog ini, silahkan masukan alamat email anda dan klik tombol Subscribe.. Terimakasih*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar