TENTANG POSISI TANGAN DALAM SHALAT.

VII. TENTANG POSISI TANGAN DALAM SHALAT.
Menurut Madzhab Syafi’iyah, Hanabillah dan Hanafiyah, setelah melakukan takbir disunnahkan meletakan tangan kakan di atas tangan kiri.
Hadist Rasulullah :
· Diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dari sahabat Qabishah bin Hulb dari ayahnya yang mengatakan, “Rasulullah mengimami shalat kami dengan mengambil tangan kiri dengan tangan kanannya.”
·  Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan sahabat sahal bin Sa’ad yang mengatakan, “Dalam shalat para sahabat diperintahkan untuk meletakan tangan kanan di atas lengan tangan kiri.”

·  Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari sahabat Ibnu Mas’ud yang mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW meletakan (Ibnu Mas’ud yang sedang mengerjakan shalat) dan meletakan tangan kiri di atas tangan kanan, maka Rasulullah mengambil tangan kanannya dan meletakan di atas tangan kirinya”.

Cara meletakan tangan

Menurut Madzhab dan Hanabillah, cara meletakan tangan yaitu dengan meletakan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri atau selebihnya, mengambil dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, Imam Abu Daud dan Imam Nasa’I dari sahabat Wa’il bin Hajr yang mengatakan, “Sesungguhnya saya ingin sekali melihat bagaimana Rasulullah mengerjakan salat, dan saya melihat Rasulullah meletakan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, persendian dan lengan.”

Menurut Madzhab Hanafiyah, cara meletakan tangan yaitu dengan menjadikan bagian dalam telapak tangan kanan terhadap telapak tangan kiri, apabila seorang laki-laki, maa melingkarkan ibu jari dan jari jentik dipergelangan tangan kiri. Apabila perempuan, maka meletakan kedua tangannya di atas dada dengan tanpa melingkarkan jari.

Mengenai posisi tangan, para imam berbeda pendapat, menurut madzhab Hanafiyah dan hanabillah disunnahkan meletaan kedua tangan di bawah puser (Pusar), mengambil dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud dari Sayyidina ‘Ali yang megatakan, “Setengah dari sunnah Raulullah adalah meletakan tangan kanan di atas tangan iri dengan posisi di bawah puser (Pusar).”

Menurut Madzhab Syafi’iyah, disunnahkan meletakan kedua tangan di bawah dada di atas puser (Pusar) dan lebih dicondongkan kea rah kiri, sebab arah kiri adalah tempat hati, mengambil dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari sahabat Wa’ail yang mengatakan, “Saya melihat Rasulullah mengerjakan shalat, beliau meletekan kedua tangan dia atas dadanya dan meletakan salah satu dari kedua tangannya di atas yang lain.”

Menurut Madzhab Malikiyah, dalam shalat disunnahakan untuk melepaskan kedua tangan dengan tenang, tidak dengan kekuatan (tidak diletakan di dada). Adapun dalam shalat sunnah diperbolehkan menggenggam kedua tangan di atas dada dengan tanpa darurat, akan tetapi dimakruhkan menggenggam kedua tangan di atas dada daam shalat fardu.

TENTANG MATA (YANG TERTUJU PADA TEMPAT SUJUD)

Menurut madzhab empat, dalam mengerjakan shalat disunnahkan untuk melihat tempat sujud, sebab untuk lebih mendekati makna khusy’u, mengambil dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari sahabat Ibnu Abbas yang mengatakan, “Ketika Rasulullah memulai shalatnya, beliau tidak melihat, kecuali tempat sujud.”

Sunnah dalam melihat tempat sujud, yaitu pada selain waktu tasyahud, pada saat tasyahud, maka disunnahkan melihat kepada jari telunjuk yang diisyaratkan sewaktu bertasyahud, mengambil dari hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Nasa’I dan Imam Abu Daud dari sahabat ‘Abdullah bin Zubair yang mengatakan, “Sewaktu Rasulullah duduk dalam tasyahud, beliau meletakan tangan kanannya di atas paha kanan dan meletakan tangan kiri diatas paha kiri, beliau mengisyarahkan jari telunjuk tangan kanan, dan pandangan beliau tidak melewati jari telunjuk isyarah”

Diterangkan dalam kitab Al-Majmu’, apabila seseorang memejamkan mata dalam mengerjakan shalat, para imam dalam madzhab empat berbeda pendapat. Menurut Imam Thahwi dari imam Madzhab Syafi’iyah hukumnya adalah makruh, begitu juga pendapat Imam Ats-Tsauri. Adapun pendapat dari Imam Malik hukumnya diperbolehkan, baik dalam shalat fardu atau shalat sunnah. Para imam yang memakruhkan, mengambil dari pendapat Imam Mujahid dan Imam Qatadah. Akan tetapi menurut pendapat yang dipiih dari madzhab Syafi’iyah, tidak dimakruhkan apabila tidak merasa takut bahaya, sebab memejamkan mata dapat menimbulkan khusyu’ dan hadirnya hati kepada Allah, begitu juga mememjamkan mata dapat menghilangkan tercabangnya pandangan dan pikiran.

Sumber referensi artikel : Faidlur-rahman (Shifatu Shalatin Nabi SAW) 4 Hal. 80 – 83

Artikel ini dibuat untuk menambah referensi tentang pengetahuan khususnya di bidang Agama, bukan untuk menjadikannya sebagi perdebadan yang saling menyalahkan dan menganggap dirinya paling benar. Mohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penulisan dan penamaan.
Dapatkan Artikel Gratis
*Untuk berlangganan Artikel gratis via E-Mail di blog ini, silahkan masukan alamat email anda dan klik tombol Subscribe.. Terimakasih*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar