MACAM-MACAM SHALAT SUNNAH

Menurut pendapat ahli syafi’iyah, shalat sunnah terbagi 2, yaitu :
1. Shalat sunnah yang disunnahkan berjama’ah ada 7, yaitu :
   a.     Shalat Idul Fitri.
   b.     Shalat Idul Adha.
   c.      Shalat Gerhana Matahari.
   d.       Shalat Gerhana Bulan.
   e.      Shalat Istisqa (Minta hujan).
   f.       Shalat Tarawih.
   g.     Shalat witir.
2.     Shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjama’ah ada 2, yaitu :
2.1Shalat sunnah Rawatib Mu’akad (Qabliyah dan Ba’diyah, yan tidak pernah  ditinggalakan Rasulullah). Terdapat 17 rakaat, yaitu :

a)     2 Rakaat sebelum shalat shubuh.
b)    4 Rakaat sebelum shalat Dzuhur.
c)     2 Rakaat setelah shalat Dzuhur.
d)    4 Rakaat sebelum shalat Ashar.
e)     2 Rakaat setelah shalat Magrib.
f)  3 Rakaat setelah shalat ‘Isya dengan mengerjakan shalat Witir 1 Rakaat (2 Rakaat Ba’diyah ‘Isya, Witir 1 rakaat).
2.2 Shalat sunnah selain Rawatib, seperti : Shalat tahajud, duha, Tahiyatul masjid, Taubat, Tasbih, Istikharah, shalat setelah berwudu dan shalat Awwabin.

Diterangkan dalam kitab Majmu’, apabila kita mengerjakan shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjama’ah dan ita mengerjakan dengan berjama’ah, maka hukumnya sah, dengan dalil dari hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sahabat Ibnu Abas yang mengatakan, “Pada satu malam aku shalat sunnah beserta Rasulullah (Berjama’ah), saya berdiri di sebelah kiri beliau, maka beliau menarik kepalaku dari belakang dan menjadikanku di sebelah kanan beliau.

Dalam kitab Ihya’, kitab Ghunyah, kitab Qutul Qulub, dan tafsir Ruhul Bayan diterangkan, disunnahkan mengerjakan shalat Raghaib (Shalat pada malam jum’at di awal bulan Rajab), shalat Bara’ah (Shalat pada malam tanggal 15 bulan Sya’ban) dan Shalat Lailatul Qadar (Kebanyakan ulama mengerjakan pada tanggal 27 Ramadhan) dan para ulama terdahulu banyak sekali yang mengerjakan dengan berjama’ah.
Asal mula Shalat Raghaib, yaitu terjadi pada saat Tajali fil Af’al pada Rasulullah di malam Jum’at pertama di bulan Rajab. Asal mula shalat Lailatul Qadar yaitu terjadi pada saat Tajali Fi Dzat pada Rasulullah di malam Lailatul Qadar.

KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH DI RUMAH
Hadist Rasulullah :
1.     Diriwayatkan dari sahabat Zain bin Tsabit, Rasulullah berkata “Sebaik-baiknya shalat adalah shalatnya seorang di rmah sendiri, kecuali shalat Fardu”.
2.     Diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khatab, “Saya bertanya kepada Rasulullah (Tentang shalat sunnah di rumah), maka Rasulullah, “Shalatnya lelaki di dalam rumah sendiri adalah satu cahaya, maka terangilah rumah kamu sekalian.” (Dengan mengerjakan shalat sunnah dirumah).
3.     Diriwayatkan dari sahabat jabir, Rasulullah berkata, “Apabila kamu sekalian telah mengerjakan shalat di masjid, maka sisakanlah sebagian dari di rumahmu, sebab sesungguhnya Allah Subhanahu wataala menjadikan kebaikan dari shalatmu untuk rumahmu.
4.     Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Umar, Rasulullah berkata, “Shalatlah kamu sekalian di rumahmu, dan jangan jadikan rumahmu seperti kuburan.” (Tidak digunakan untuk shalat)
5.     Diriwayatkan dari sahabat Shuhaib bin Nu’man, Rasulullah berkata, “Keutamaan shalat lelaki di rumah sendiri (Shalat sunnah) di banding dengan shalat di tempat perkumpulan manusia seperti keutamaan Fardu disbanding shalat sunnah.”

Keterangan :

Dalam kitab Nailul Authar diterangkan, hadist di atas menunjukan disunnahkannya mengerjakan shalat sunnah di rumah sendiri. Dan mengerjakan shalat sunnah di rumah lebih afdol di banding mengerjakan di masjid, walaupun masjid yang paling afdol, seperti masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Baitul Maqdis, mengambil dari hadist yang diriwayatkan oleh sahabat Zaid bin Tsabit, Rasulullah berkata, “Shalat seseorang di rumah sendiri lebih utama dari shalat seseorang di masjidku ini (Masjid Nabawi), kecuali shalat Maktubah (Fardu). Apabila shalat sunnah di masjid nabawi mendapat pahala seribu shalat, maa mengejakan shalat sunnah di rumah sendiri lebih afdol dari pahala seribu shalat, begitu juga shalat di masjid Haram dan Baitul Maqdis.
Ahli Syafi’iyah mengecualikan shalat sunnah yang disunnahkan berjama’ah, seperti shalat Id, Shalat gerhana, shalat Tarawih dll, maka shalat diperkumpulkan jama’ah atau di masjid lebih afdol.
*Yang dinamakan shalat Maktubah, yaitu : shalat 5 waktu (Shalat wajib), bukan Shalat Ashar.
5 waktu di masjid, yaitu khusus bagi laki-laki, adapun perempuan, yang terbaik adalah di rumah.

Diterangkan dalam Syarah Muslim, Imam Nawawi mengatakan “Hikmah dari disunnahkannya mengerjakan shalat sunnah di rumah adalah agar lebih jauh dari makna ‘riya’, lebih terjada dari sesuatu yang membatalkan amal, agar rumah mendapat keberkahan, agar ramah dan malaikat turun ke rumah, dan agar syaitan menyingkir dari rumah.

DISUNNAHKAN MENGERJAKAN SHALAT SUNNAH BERPINDAH DARI TEMPAT SHALAT FARDU :

Hadist Rasulullah :
·   Diriwayatkan dari sahabat Mughirah bin Syu’bah, Rasulullah berkata, “Imam tidak boleh mengerjakan shalat sunnah di tempat mengerjakan shalat fardu, sehingga pindah dari tempat itu”
Diterangkan dalam kitab Nailul Authar, disunnahkannya mengerjakan shalat sunnah berpindah dari tempat mengerjakan  shalat fardu, bukan sekedar dikhususkan bagi imam tapi juga bagi ma’mum dan orang yang mengerjakan shalat sendiri.

Hikmah dari disunnahkannya berpindah tempat shalat sunnah, yaitu untuk memperbanyak tempat mengerjakan ibadah, seperti yang telah diterangkan oleh Imam Bukhari dan Imam Baghwi, bahwa sesungguhnya tempat shalat akan bersaksi dihadapan Allah terdapat dalam surat AZ-Zalzalah ayat 4-5 :
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan kepadanya” (QS.Az-Zalzalah : 4-5)
Surat AD-Dukhan ayat 29 :
“Maka langit dan Bumi tidak menangisi mereka” (QS.Ad-Dukhan : 29)
Maksud dari ayat di atas, apabila orang kafir meninggal, maka bumi dan tempat penerimaan amal di langit tidak menangisi kepergiannya. Berbeda dengan orang mu’min, apabila meninggal maka bumi tempat ibadanya akan menangisinya, begitu juga tempat penerimaan amalnya.
Karena bumi tempat ibadah kita akan bersaksi dihadapan Allah, maka disunnahkannya berpindah tempat bukan sekedar dari mengerjakan shalat sunnah ke shalat fardu atau sebaliknya, tapi disunnahkan juga dari mengerjakan shalat sunnah ke shalat sunnah lainnya.

Disunnahkan mengqodlo shalat sunnah yang mempunyai waktu :

Diterangakan dalam kitab Mughni Muktaj dan kitab Fikih Islam, apabila tertinggal shalat sunnah yang mempunyai waktu, baik yang disunnahkan berjama’ah (Seperti shalat Id) atau tidak, seperti shalat Dluha, maka disunnahkan mengqodonya, terdapat dalam hadist Rasulullah :
1.     Diriwayatkan dari Imam BUkhari Muslim, Rasulullah berkata, “Siapa yang tertidur hingga tertinggal Shalat, atau lupa mengerjakannya, maka shalatlah sewaktu mengingatnya”.
2.     Diriwayatkan dari Imam Abu Daud dan Imam Muslim, “Sewaktu Rasulullah tertinggal mengerjakan shalat sunnah Fajar sebab tertidur di suatu lembah, hingga tertinggal mengerjakan shalat Shubuh, dan terbangun saat terkena sinar matahari, beliau mengqodo shalat shubuh dan shalat sunnah Fajar
3.     Diriwayatkan dari Imam Bukhari Muslim, “Rasulullah mengqodlo shalat sunnah 2 rakaat Dluhur akhir dikerjakan (di qodlo) setelah shalat Ashar.”

Diterangkan dalam kitab Majmu’, kitab Fiqh Islam dan kitab Mughni Muhtaj, ahli Syafi’iyah memperbolehkan berjama’ah shalat Ada’ kepada imam yang mengerjakan shalat Qodlo atau sebaliknya, dan boleh berjama’ah shalat fardu kepada imam yang sedang mengerjakan shalat sunnah atau sebaliknya, dan boleh berjama’ah kepada imam yang sedang mengerjakan shalat fardu lain, contohnya orang yang sedang mengerjakan shalat Ashar ma’mum kepada imam yang sedang mengerjakan shalt Dzuhur atau shalat lainnya.

Keterangan :

Apabila Ma’mum mengerjakan shalat Dzuhur, Ashar atau ‘Isya berjama’ah kepada imam yang mengerjakan shalat shubuh atau Magrib, maka setelah selesai shalat imam, ma’mum harus menambah bilangan rakaat. Dan ma’mum tidak disalahkan mengikuti qunutnya iamam atau duduk tasyahud di rakaat ketiga pada shalat magrib.
Apabila ma’mum mengerjakan shalat Maghrib atau Shubuh berjam’ah kepada imam yang sedang mengerjakan shalat Dzuhur, Ashar atau ‘Isya, maka setelah selesai rakaat ma’mum diperbolehkan bermufaraqah (memisahkan diri dari imam), kemudian salam. Dan diperbolehkan juga menunggu dengan duduk bertasyahud akhir hingga imam salam.
Ahli Syafi’iyah mensyaratkan pada saat berjama’ah harus sama pekerjaan shalat antara imam dan ma’mum, maka tidak diperbolehkan mengerjakan shalat fardu berjama’ah kepada imam yang sedadng mengerjakan shalat gerhana atau shalat jenazah.

Dalam kitab Bajuri diterangkan, orang yang menginginkan mengerjakan shalat Qashar tidak tidak diperbolehakan berjama’ah dengan orang yang mengerjakan shalat sempurna (tidak Qashar). Apabila berjama’ah dengan orang yang shalat sempurna, maka shalat Qasharnya tidak sah dan harus menyempurnakan dengan shalat sempurna.

Sumber referensi artikel : Faidlur-rahman jilid 4 Hal. 42 - 48.

Artikel ini dibuat untuk menambah referensi tentang pengetahuan khususnya di bidang Agama, bukan untuk menjadikannya sebagi perdebadan yang saling menyalahkan dan menganggap dirinya paling benar. Mohon maaf apabila telah terjadi kesalahan dalam penulisan dan penamaan.
Dapatkan Artikel Gratis
*Untuk berlangganan Artikel gratis via E-Mail di blog ini, silahkan masukan alamat email anda dan klik tombol Subscribe.. Terimakasih*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar