SYARAT SAH SHALAT JUM’AT

Syarat sah shalat jum’at ada 3, yaitu :
1. Adanya pemukiman, desa atau kota  yang menjadi tempat tinggal orang yang mengerjakan shalat jum’at.
2.  Ada 40 orang dalam jama’ah dari ahli shalat jum’at  (Lelaki, baligh, merdeka,  mukim).
3. Adanya waktu dzuhur (Masih masuk waktu).
Apabila sudah keluar waktu atau sebagian dari syarat di atas tidak terpenuhi, maka shalat dilaksanakan dengan shalat dzuhur.

Keterangan :
Yang dimaksud perkotaan, yaitu : apabila di tempat tersebut terdapat Hakim Syar’I (Pengadilan agama) dan hakim Syarthi (Pengadilan kepolisian), serta adanya pasar untuk jual beli. Yang dimaksud pedesaan, yaitu : adanya sebagian tempat dari perkotaan, seperti adanya pasar. Dan yang dimaksud pemukiman yaitu tidak adanya tempat seperti yang terdapat dalam perkotaan.
Menurut ahli Syafi’iyah, shalat jum’at dapat dilaksanakan baik dalam perkotaan, pedesaan atau pemukiman, walaupun tidak dilaksanakan di dalam masjid, dengan syarat tempat pelaksanaan tidak jauh (Tidak bisa untuk mengqoshor shalat), apabila jauh dari pemukiman (Dapat mengqoshor shalat), maka shalat jum’at hukumnya tidak wajib. Dan apabila tidak ada pemukiman (Sekedar tenda), maka shalat jum’at hukumnya tidak wajib, kecuali apabila mendengar adzan, maka harus mendatanginya.
Syarat tentang jumlah jama’ah dalam shalat Jum’at, ulama berbeda pendapat, yaitu :
1.  Cukup dengan 1 orang, maka tidak wajib jam’ah, dari pendapat Imam Ibnu Hazem.
2.       Cukup dengan 2 orang, dari pendapat Imam Nakha’i.
3.       Cukup dengan 3 orang, dari pendapat Imam Abi Yusuf.
4.       Cukup dengan 4 orang, dari pendapat Imam Abu Hanifah.
5.       Cukup dengan 7 orang, dari pendapat Imam ‘Akramah.
6.       Cukup dengan 9 orang, dari pendapat Imam Rabi’ah.
7.       Cukup dengan 12 orang, dari Madzhab Imam Malik.
8.       Cukup dengan 13 orang, dari pendapat Imam Ishaq.
9.       Cukup dengan 20 orang, dari pendapat Imam Ibnu Habib.
10.   Cukup dengan 30 orang, dari pendapat sebagian ahli Malikiyah.
11.   Cukup dengan 40 orang, dari pendapat Madzhab paling shaheh Imam Syafi’i.
12.   Cukup dengan 41 orang, dari pendapat sebagian Madzhab Syafi’yah.
13.   Cukup dengan 50 orang, dari pendapat Madzhab Imam Ahmad bin Hambal.
14.   Cukup dengan 80 Orang, dari pendapat Imam Mazari.
15.   Dalam perkumpulan orang banyak, dari pendapat sebagian ulama.

Yang dimaksud masih masuk dalam waktu dzuhur, yaitu : masih ada dalam waktu dzuhur dengan yakin, apabila ragu, maka kewajibannya adalah mengerjakan shalat dzuhur. Akan tetapi apabila ragu setelah takbiratul ihram, maka kewajibannya adalah menyempurnakan shalat jum’at.
Ahli Syafi’iyah menambahkan 2 syarat dalam sahnya mengerjakan shalat jum’at, yaitu
1.     Sempurnanya 40 orang, dari awal khutbah hingga akhir shalat.
2.     Shalat jum’at yang tidak dibarengi atau didahului oleh shalat Jum’at lainnya (dalam satu desa) dan tidak ada hajat.

Orang yang mengerjakan shalat jum’at terbagi dalam 6 bagian, yaitu :
1.     Wajib, dapat menjadikan shalat jum’at dan sah, yaitu orang yang sempurna syaratnya.
2.     Wajib, tidak dapat menjadikan shalat jum’at dan sah, yaitu orang yang mukim tapi tidak menetap, dan mendengar adzan selain daerahnya.
3.     Wajib, tidak dapat menjadikan shalat jum’at dan tidak sah, yaitu orang murtad.
4.     Tidak wajib, tidak jadi dan tidak sah, yaitu kafir asli, anak yang belum tamyiz, orang gila dan orang yang sedang mabuk.
5. Tidak wajib, tidak jadi dan sah, yaitu anak yang sudah tamyiz, budak, perempuan, musafir.
6.  Tidak wajib, jadi dan sah, yaitu orang sakit, orang udzur yang diperbolehkan meninggalkan shalat Jum’at.
Keterangan :
Yang dimaksud wajib, yaitu wajib mengerjakan shalat jum’at, jika tidak  mengerjakan maka berdosa. Yang dimaksud dapat menjadikan shalat jum’at, yaitu dapat mengesahkan shalat Jum’at (Menjadi jama’ah ke 40, maka hukumnya sah). Dan yang dimaksud sah, yaitu shalatnya tidak batal.

RUKUN SHALAT JUM’AT
Rukun shalat jum’at ada 3, yaitu :
1.     Khutbah awal, dengan berdiri.
2.     Khutbah tsani, dengan berdiri dan dipisahkan dengan duduk di antara 2 (Dua) Khutbah.
3.     Mengerjakan shalat 2 rakaat, dengan berjama’ah.
Keterangan :
Apabila Khatib tidak dapat berdiri, maka diperbolehkan berkhutbah dengan duduk atau tidur miring. Dan yang memisahkan antara khutbah adalah dengan cara diam.

Rukun khutbah ada 5, yaitu :
1.     Memuji kepada Allah pada khutbah awal dan khutbah kedua. Lafazh pujian harus dengan lafazh “Hamdalah” tidak bisa diganti dengan lafazh “Syukur” atau lainnya. Dan Lafazh ‘Allah’ tidak dapat diganti dengan lafazh asmaul husna lainnya.
2.     Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Sallahu Alaihi Wassalam, pada khutbah awal dan kedua. Diperbolehkan mengganti Lafazh ‘Nabi Muhammad’ dengan lafazh ‘Ahmad’ atau asma lainnya dari nama Nabi Muhammad, tapi tidak diperbolehkan memakai isim dlomir (Isim yang mempunyai makna : Saya, kamu, dia). Contoh Allahumma shalli wasallim wabarik ‘alaiih (Ya Allah, berikan rahmat dan saam kepada ‘dia’) tidak boleh hanya dengan kata ‘dia’ tapi harus denan menyebutkan namanya.
3.     Wasiat dengan taqwa, pada khutbah awal dan kedua. Taqwa adalah mengikuti perintah dan meninggalakan larangan Allah, akan tetapi menurut Imam Hajar cukup dengan salah satu makna taqwa. Adapun menurut Imam Ramli, harus ada wasiat mengikuti perintah Allah tidak cukup sekedar wasiat meninggalkan larangan Allah.
4.     Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu khutbah, yang paling afdol pada khutbah awal. Dan ayat Al-Quran harus mempunyai makna yang bisa di faham, tidak sekedar dengan lafazh Tsumma nazhar (‘Kemudian dia memikirkan’ QS. Al-Muddatsir ayat 21) atau lafazh Mudhaammatan (‘Kedua surge itu hijau tua warnanya’ QS. Ar-Rahman ayat 64) yang tidak bisa difaham kecuali disambung dengan ayat sebelum atau sesudahnya. Dan pada tiap jum’at disunnahkan membaca surat Qaaf, terdapat dalam hadist yang diriwayatkan Imam Muslim, “Rasulullah selalu membaca surat Qaaf pada tiap jum’at di atas mimbar”
5.     Do’a bagi semua muslim dan muslimat pada khutbah kedua dan diharusan denan do’a uhrawi.

Syarat khutbah ada 10, yaitu :
1.     Suci dari hadast kecil dan besar.
2.     Suci dari najis, pada badan, pakaian dan tempat.
3.     Menutupi aurat.
4.     Berdiri bagi yang mampu.
5.     Duduk di antara dua khutbah, lebih lama dari tuma’ninah shalat.
6.     Muallah (Tidak terputus lama) di antara dua khutbah.
7.     Muallah di antara dua khutbah dan shalat.
8.     Memakai bahasa arab pada rukun yang lima.
9.     Harus terdengar oleh 40 orang yang menetapi shalat jum’at.
10.                  Masih masuk dalam waktu Dzuhur.

Keterangan :
Yang dimaksud Muallah yaitu tidak terputus lama dengan perukuran dua rakaat yang ringan. Yang dimaksud dengan syarat harus memakai bahasa arab yaitu apabila pendengarnya orang arab. Apabila bukan orang arab, maka cukup dengan bahasa masing-masing, kecuali tentang ayat Al-Qur’an.

Sunnah-sunnah khutbah :
Diterangkan dalam kitab Muqaddimah Hadramiyah dan kitab Minhajul Qawim, sunnah khutbah yaitu,
1.     Di atas mimbar atau tempat yang tinggi, jika tidak ada bisa dengan bersandar pada dinding atau pilar.
2.     Disunnahkan bagi Khatib untuk bersalam sewaktu memasuki masjid, sewaktu memasuki mimbar, dan sewaktu menghadapi Jama’ah.
3.     Duduk ditempat istirahat sewaktu adzan.
4.     Menghadap jam’ah dengan membelakangi kiblat.
5.     Mengeraskan suara melebihi batasan wajib.
6.     Tidak menoleh ke kanan dan kiri, harus Khusyu’ seperti saat shalat.
7.     Dengan ucapan tegas yang mudah difahami bagi jama’ah.
8.     Tangan kanan disunnahkan berpeang pada mimbar, tangan kiri berpegang pada tongkat.
9.  Segera turun setelah selesai berkhutbah yang sekiranya sampai pada tempat imam setelah selesai iqamah.
Diterangakan dalam kitab Bajuri, disunnahkan jarak duduk diantara dua khutbah, yaitu dengan kadar membaca surat Al-Ikhlas dan disunnahkan untuk membacanya.

Makruhnya khutbah :
1.     Menoleh ke kanan dan kiri.
2.     Menunjuk-nunjuk.
3.     Mengetuk-ngetuk mimbar dengan tongkat.
4.     Berdo’a di tempat istirahat sebelum duduk.
5.     Berhenti pada anak tangga dengan berdo’a.
6.     Terlalu cepat dalam khutbah dan melirihkan suara.

Dalam kitab Syarah Safinatun-Naja diterangkan, dimakruhkan menjadi imam bagi selain Khatib.

  Sumber referensi artikel : Faidlur-rahman jilid 4 Hal. 159 - 165.


Artikel ini dibuat untuk menambah referensi tentang pengetahuan khususnya di bidang Agama, bukan untuk menjadikannya sebagi perdebadan yang saling menyalahkan dan menganggap dirinya paling benar. Mohon maaf apabila telah terjadi kesalahan dalam penulisan dan penamaan.
Dapatkan Artikel Gratis
*Untuk berlangganan Artikel gratis via E-Mail di blog ini, silahkan masukan alamat email anda dan klik tombol Subscribe.. Terimakasih*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar