SHALAT I’ADAH
Ulama Syafi’iyah berpendapat diperbolehkan
bagi orang telah mengerjakan shalat (Sendiri atau berjama’ah) untuk mengulang
shalatnya dengan berjama’ah pada semua shalat fardu 5 waktu.
Hadist Rasulullah :
1. Seorang
lelaki mendatangai masjid setelah Rasulullah selesai shalat ashar, Rasulullah
berkata, “Siapa yang ingin bersadaqoh kepada lelaki ini dan berjama’ah
bersamanya ?” (Membantu untuk shalat berjama’ah). Dan ada seorang yang bersedia
shalat dengannya.
2. Diriwayatkan
dari sahabat Jabir, sesungguhnya sahabat Mu’ad bin Jabal telah mengerjakan
shalt ‘Isya bersama Rasulullah kemudian sahabat Mu’ad mendatangi kaumnya.
(Karena kamunya telah menunggu sahabat Mu’ad untuk menjadi Imam dari sebab
memandang keutamaan dan ilmunya).
3. Diriwayatkan
dari sahabat Yazid bin Aswad Al-‘Amiri, “Sesungguhnya Rasulullah mengerjakan
shalat Shubuh (Sebagian mengatakan shalat Dzuhur) di masjid Khaif dan
Rasulullah melihat dibelakang para sahabat 2 orang lelaki yang tidak ikut
berjama’ah bersama Rasulullah, maka Rasulullah berkata “Apa yang menyebabkan
kalian tidak tidak ikut shalat bersama kami ?” mereka menjawab, “Ya Raulullah,
kami telah mengerjakan shalat dalam perjalanan” Rasulullah berkata, “Jangan
seperti itu, apabila kalia telah mengerjakan shalat dalam perjalanan, lalu
kalian mendatangi masjid yang sedang berjama’ah, maka ikutlah berjama’ah, maka
shalt itu menjadi shalat sunnah bagi kalian.”
Shalat
I’adah dapat dilakukan hanya satu kali
dan masih dalam waktu (belum keluar waktu shalat). Apabila berI’adah, maka
menurut pendapat qaul Jadid, yang menjadi shalat Fardu adalah shalat yang
pertama, dan shalat kedua menjadi shalat sunnah, seperti terdapat dalam hadist
yang diriwayatkan oleh sahabat Yazid bin Aswad. Akan tetapi menurut qaul Qadim,
yang menjadi shalat Fardu adalah shalat yang terbaik daam pandangan Allah.
Adapun
cara niat I’adah menurut qaul Jadid Qadim sama seperti niat shalat fardu yang
pertama. Menurut qaul Jadid ada 2 cara, akan tetapi yang paling shaheh sama
seperti niat shalat yang pertama (Mendatangakan lafazh Fardiyahya), contoh ‘Saya
niat shalat fardu Dzuhur’ sebagian mengatakan cukup dengan niat ‘Saya niat
shalat Dzuhur.’
Diterangkan
dalam kitab Syarqawi dan kitab Fikih Islam, syarat dari I’adah yaitu harus
berjama’ah, kecuali I’adah karena Ikhtiyat (Hati-hati), maka diperbolehkan
shalat I’adah dengan tanpa berjama’ah.
Penjelasan
:
Yang
dimaksud qaul Qadim adalah Fatwa Imam Syafi’I sewaktu di Iraq sebelum pindah ke
Mesir, yang dimaksud qaul Jadid adalah Fatwa Imam Syafi’I sewaktu di Mesir. Apabila
berkumpulnya qaul Qadim dan Qaul Jadid, maka yang didahulukan adalah qaul
Jadid.
TENTANG SHALAT DZUHUR SETELAH
SHALAT JUM’AT.
1. HARAM
BERI’ADAH , apabila shalat jum’at telah dilaksanakan dalam satu desa denan
shalat jum’at yang satu (hanya diadakan dalam satu tempat) dan shalat jum’atnya
dinyatakan sah.
2. SUNNAH BERI’ADAH,
apabila shalat jum’at dilaksanakan dalam satu desa lebih dari satu tempat, dari
sebab adanya hajat, seperti jauhnya tempat atau masjid tidak bisa menampung.
3. WAJIB BERI’ADAH,
apabila shalat jum’at dilaksanakan dalam satu desa lebih dari satu tempat tapi
bukan dari adanya hajat, maka hukum shalat di masjid yang pertama takbiratul
ihram, hukumnya sah. Dan di masjid yang berikutnya diwajibkan shalat Dzuhur.
*Takbiratul
ihram dihitung dari mengucapkan Ra’nya Lafazh ‘Allahu Akbar’.
Shalat I’adah tidak disunnahkan bagi shalat nadzar
atau shalat jenazah, dan bagi setiap shalat sunnah yang tidak disunnahkan
berjama’ah. Akan tetapi shalat I’adah disunnahkan bagi tiap shalat Sunnah yang
disunnahkan berjama’ah, kecuali shalat Witir di bulan Ramadhan, sebab shalat
witir tidak boleh dikerjakan 2 kali. Terdapat dalam hadist Rasulullah, “Tidak
ada 2 witir dalam satu malam”.
Keterangan
:
Yang
dinamakan Shalat I’adah yaitu : mengerjakan shalat seperti shalat yang pertama
dalam satu waktu, conto: mengerjakan (Mengulang) shalat dzuhur setelah
mengerjakan shalat dzuhur selagi masih masuk waktu (Dzuhur).
Yang
dinamakan shalat Qodlo yaitu,
mengerjakan shalat keluar waktu.
Yang
dinamakan shalat Ada’ yaitu : mengerjakan shalat pada waktunya. Menurut
pendapat Imam Syafi’I yaitu dengan batasan menemui satu rakaat sebelum keluar
waktu shalat.
Sumber
referensi artikel : Faidlur-rahman jilid 4 Hal. 38 - 41.
Artikel
ini dibuat untuk menambah referensi tentang pengetahuan khususnya di bidang
Agama, bukan untuk menjadikannya sebagi perdebadan yang saling menyalahkan dan
menganggap dirinya paling benar. Mohon maaf apabila telah terjadi kesalahan
dalam penulisan dan penamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar