TENTANG TAKBIRATUL IHRAM
Menurut
Madzhab empat, yang dimaksud Takbiratul Ihram, yaitu : Mengucapak (Melafazhkan
‘Allahu Akbar’) dengan berdiri bagi orang yang mampu mengerjakan dengan
berdiri, yang bacaanya terdengar oleh telinga sendiri dengan menggunakan bahasa
Arab.
Menurut
Madzhab Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabillah dan Imam Muhammad dari Hanafiyah,
hukum takbiratul ihram adalah rukun, bukan syarat. Adapaun menurut Imam Abu
Hanifah dan Imam Abu Yusuf dari Madzhab Hanafiyah, takbiratul ihram adalah syarat bukan rukun, dan pendapat ini
adalah pendapat yang dipakai oleh madzhab Hanafiyah.
Dalil
yang berpendapat takbiratul ihram adalah rukun terdapat dalam surat
AL-Muddats-Tsir ayat 3 :
“Dan
agungkanlah Tuhanmu” (QS.Al-Muddats-Tsir : 3)
Hadist
Rasulullah :
1. Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah berkata, “Apabila kamu berdiri
untuk mengerjakan shalat, maka bertakbirlah”.
2. Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmudzi dari
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib yang mengatakan, “Kunci shalat adalah bersuci,
yang mengharamkan shalat (dari mengerjakan sesuatu yang membatalkan shalat)
adalah takbiratul ihram.”
Dalil
yang berpendapat takbiratul ihram adalah syarat terdapat dalam surat AL-A’Laa
ayat 15 :
“Dan
mengingat nama Tuhannya lalau dia shalat”. (QS. Al-A’Laa : 15)
Menurut
imam yang berpendapat takbiratul ihram adaah syarat, penafsiran dalam makna
ayat di atas maksud dari ‘Mengingat nama Tuhannya’ adalah takbiratul ihram,
maka takbiratul ihram bukan termasuk shalat dengan dalil terdapat huruf
penyambung (lalu).
Penjelasan Takbiratul Ihram dalam
Madzhab Syafi’iyah
Dalam
Madzhab Syafi’iyah, takbiratul ihram adalah teramasu rukun bangsa ucapan yang
tidak sah, kecuali 16 Syarat, yaitu :
1. Mengerjakan
Takbiratul Ihram setelah tegaknya berdiri dalam shalat Fardu.
2. Diucapkan
dengn menggunakan bahasa arab yang mampu.
3. Diucapkan
dengan menggunakan lafazh ‘Allah’, maka tidak sah apabila diucapkan dengan
lafazh A’rrahmanu Akbar’.
4. Menggunakan
Lafazh ‘Akbar’, maka tidak sah diucapkan denan lafazah, ‘Allahu Kabirun’.
5. Tertib
antara 2 lafazh, maka tidak sah apabila diucapkan dengan ‘Akbarullah’.
6. Tidak
boleh memanjangkan huruf Hamzah dalam lafazh ‘Allah’ apabila dipanjangkan, maka
shalatnya tidak sah.
7. Tidak
boleh memanjangkan huruf ‘Ba’ daam lafazh ‘Akbar, apabila dipanjangkan, maka
shalatnya tidak sah, karena apabila telah mengetahui makna dari memanjangkan
huruf ‘Ba’ dan tetap diucapkan dengan panjang, maka hukumnya adalah Kufur,
sebab makna dari kalimat ‘Akbar’ yang dipanjangkan huruf ‘Ba’ nya makananya
adalah ‘Gendang besar’.
8. Tidak
boleh membaca dengan Tasydid ‘Ba’ nya lafazah ‘Akbar’, apabila dibaca dengan
tasydid, maka shalatnya tidak sah.
9. Tidak
boleh menambahkan huruf ‘Wa’ mati atau berharakat di antara 2 kalimat (Allah
dan Akbar), apabila menambahkan maka shalatnya tidak sah.
10.Tidak boleh menambahkan huruf ‘Wa’
sebelum lafazh ‘Allah’ apabila menambahkan, maka shalatnya tidak sah.
11. Tidak boleh berhenti diantara kalimat ‘Allah
dan Akbar’ baik berhenti lama atau sebentar, akan tetapi diperbolehkan
menambahkan huru ‘Al’ pada lafazh ‘Akbar’ seperti “ Allahul Akbar ”, ‘Allahul
Jalilul Akbar’ atau ‘Allahur-Rahmanur-Rahimu Akbar’.
12. Bagi yang bertakbiratul ihram diwajibkan
mendengar semua huruf dalam takbiratul ihram, apabila pendengarannya sempurana.
13. Telah masuk waktu dalam shalat yang
mempunyai waktu baik shalat fardu atau sunnah.
14. Mengerjakan takbiratul ihram setelah menghadap
kiblat.
15. Huruf dalam takbiratul ihram harus
diucapkan dengan semestinya.
16. Mengakhirkan takbiratul ihram ma’mum
setelah sempurnanya takbiratul ihram imam.
Diterangakan
dalam kitab Syarah Safinatun-Najah, disunnahakan untuk tidak memendekan huruf ‘Lam
Jalalah’ (Mad Thabi’i) dan tidak boleh diucapkan dengan terlalau panjang
(Seukuran 7 Alif), akan tetapi diucapkan dengan ‘Sedang’ (Seukuran 3-4 Alif).
Syaikh Syibra Malisi mengatakan, “Disunnahakan memanjangkan huru Lam Jalalah
dengan syarat tidak lebih dari 7 Alif (14 Harakat) apabila lebih dari 7 Alif
dengan di sengaja, maka hukum shalatnya batal.
Dalam
kitab Al-Fiqhul Islam, Madzhab Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabillah
mensyaratkan bagi ma’mum untuk tidak bertakbiratul ihram sebelum sempurnanya
takbiratul ihram imam, akan tetapi madzhab Hanafiyah memperbolehkan membarengi
imam bagi ma’mum, baik dalam takbiratul ihram atau lainnya.
Menurut
Madzhab Syafi’iyah disunnahakan mengeraskan membaca takbiratul ihram dan
takbiratul intiqal bagi imam, adapun bagi ma’mum dan munfarid disunnahkan untuk
melirihkan takbiratul dan takbiratul intiqal, kecuali bagi mubaligh (Orang yang
menyampaikan suara imam), maka disunnahkan untuk mengeraskan suara.
Adapun
menurut Madzhab Malikiyah, disunnahkan untuk mengeraskan suara sewaktu
takbiratul ihram, baik bagi imam, ma’mum atau munfarid, dan dalam takbiratul
intiqal imam dan munfarid disunnahkan untuk melirihkan suara.
Sumber referensi artikel :
Faidlur-rahman (Shifatu Shalatin Nabi SAW) 4 Hal. 64 - 68.
Artikel
ini dibuat untuk menambah referensi tentang pengetahuan khususnya di bidang
Agama, bukan untuk menjadikannya sebagi perdebadan yang saling menyalahkan dan
menganggap dirinya paling benar. Mohon maaf apabila telah terjadi kesalahan
dalam penulisan dan penamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar